BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara hukum[1],
oleh karena itu maka sebagai negara
hukum sudah semestinya hukum dijadikan sebagai sarana untuk mengatur masyarakat, sehingga hukum Indonesia
harus ditegakkan dengan sebaik mungkin. Hukum Indonesia adalah sarana utama
untuk melindungi dan memberikan jaminan rasa aman pada penduduk warga negara
Indonesia itu sendiri, dimana setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dihadapan hukum (Equality Before The Law). Oleh sebab itu
menurut FJ. Stahl dalam buku Hukum Adminitrasi Negara Ridwan HR bahwa suatu
negara hukum memiliki unsur penting dengan adanya Peradilan Administrasi dalam
perselisihan atau Peradilan Tata Usaha negara[2].
Dalam
hal ini dimana Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di
Indonesia yang berwenang menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 51
Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara
diadakan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan atau
sengketa antar badan atau pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat.
Kekuasan kehakiman dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam UU PTUN
dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tata Usaha Negara
yang bermuara ataupun berpuncak pada Mahkamah Agung.
Dalam
suatu perkara, setelah proses pemeriksaan pengadilan selesai, maka tugas hakim
adalah menjatuhkan putusan. Putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim adalah
kemungkinan tidak memuaskan salah satu pihak, baik itu pihak penggugat maupun
pihak tergugat. Jika salah satu pihak tersebut tidak puas terhadap putusan
hakim, maka yang bersangkutan dapat mengajukan upaya-upaya hukum. Dalam hukum
acara terdapat upaya-upaya hukum yang meliputi upaya hukum biasa dan upaya
hukum luar biasa atau upaya hukum istimewa[3]. Upaya
hukum biasa pada azasnya terbuka untuk setiap putusan lama tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undnag. Wewenang untuk menggunakannya hapus dengan
menerima putusan. Upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan
untuk sementara. Upaya hukum biasa ialah: perlawanan, banding, dan kasasi.
Dengan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau mutlak suatu putusan tidak lagi di
ubah. Suatu putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila tidak tersedia
lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap ini tersedia upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa hanya
lah di perbolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam undang-undang
saja. Termasuk upaya hukum istimewa ialah request civil (peninjauan kembali)
dan derden verszet (perlawanan pihak ketiga)[4].
Berdasarkan
latar belakang diatas maka penulis akan membahas atau menuangkan dalam tulisan
lebih mendalam tentang upaya-upaya hukum dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pemaparan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan permasalahan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
proses pemeriksaan dalam melakukan upaya hukum biasa di Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PTTUN).
2. Bagaimana
proses pemeriksaan dalam melakukan upaya hukum luar biasa di Mahkamah Agung
(MA).
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
yang menjadi Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui bagaimana proses pemeriksaan dalam melakukan upaya hukum biasa di
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
2. Untuk
mengetahui bagaimana proses pemeriksaan dalam melakukan upaya hukum luar biasa
di Mahkamah Agung (MA).
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam
sengketa Tata Usaha Negara yang diperiksa oleh hakim di Peradilan Tata Usaha
Negara hakim harus menjatuhkan putusan kepada pihak penggugat maupun tergugat
yang bersengketa tersebut. Akan tetapi apabila terjadi kesalahan serta
kesilapan didalam putusan hakim tersebut, maka putusan tersebut terkadang
keliru dan tidak sesuai menerapkan dasar hukum didalam putusan tersebut.
Untuk
memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan, maka perlu alat atau sarana hukum
untuk dapat memperbaiki putusan tersebut, yaitu yang dinamakan upaya hukum.
Jadi, upaya hukum adalah alat atau sarana hukum untuk memperbaiki adanya
kekeliruan pada putusan pengadilan. Upaya hukum ini dapat ditempuh terhadap
putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut pendapat
penulis bahwa upaya hukum merupakan suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa
dirugikan haknya untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum.
Menurut
Zairin Harahap bahwa upaya hukum ini bukanlah dimaksudkan untuk memperlama
penyelesaikan suatu perkara, apalagi dimaksudkan menyampingkan kepastian hukum.
Bagaimanapun upaya hukum diperlukan, karena hakim adalah manusia yang sangat
dekat denga kehilafan, bahkan kesalahan itu sendiri, bersifat memihak, atau
karena ditemukan bukti baru yang begitu kuat. Denga tersedianya upaya hukum,
putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim masih dimungkinkan untuk diperiksa
ulang[5].
Menurut R. Wiyono dalam bukunya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Upaya
hukum sebagai [6]:
1. Upaya
hukum biasa, yang terdiri dari:
A. Perlawanan
terhadap penetapan dismissal
B. Banding
C. Kasasi
2. Upaya
hukum luar biasa, yang terdiri dari:
A. Peninjauan
kembali
B. Kasasi
demi kepentingan hukum
Menurut
R. Wiyono, istilah upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa tidak
dipergunakan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun
2004 jo. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009. Kedua
istilah tersebut dipinjam dari istilah yang dipergunakan dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana[7].
A.
Upaya
Hukum Biasa
Upaya
hukum biasa merupakan suatu upaya hukum yang dilakukan sebelum memperoleh
kekuatan hukum tetap.
1.
Perlawanan
Terhadap Penetapan Dismissal
Perlawanan
(verzet) merupakan upaya hukum
terhadap penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat
permusyawaratan (prosedur dismissal).
Perlawanan yang diajukan oleh penggugat terhadap penetapan dismissal tersebut pada dasarnya membantah alasan-alasan yang
digunakan oleh Ketua Pengadilan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 62 ayat
(1) huruf a, b, c, d, dan e UU PTUN. Penggugat harus mampu membuktikan bahwa
alasan-alasan yang digunakan oleh Ketua Pengadilan itu berdasar dan didukung
oleh bukti-bukti yang akurat, sehingga kebenarannya patut dipertanyakan[8].
Tengang
waktu mengajukan gugatan menurut Pasal 62 ayat (3) UU PTUN adalah 14 (empat
belas) hari sejak penetapan tersebut dikeluarkan oleh ketua pengadilan
sebagaimana disebutkan diatas[9].
Menurut Zairin Harahap Pasal diatas tidak disebutkan dengan jelas apakah
tenggang waktu mengajukan perlawanan itu bersifat right, sehingga apabila
terlampaui, hak penggugat untuk mengajukan perlawanan menjadi gugur. Tidak
seperti halnya pengaturan pemeriksaan persiapan, dalam penjelasan Pasal 63 UU
PTUN disebutkan bahwa hakim diminta untuk bijaksana agar tidak langsung begitu
saja menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima, karena tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
untuk menyempurnakan gugatan itu dilampaui oleh peggugat, tetapi memberikan
kesempatan sekali lagi untuk menyempurnakan gugatannya[10].
Indroharto
berpendapat bahwa lewatnya tenggang waktu mengajukan perlawanan maka posisi
putusan berlawanan itu dapat dianggap sebagai sewaktu insiden dalam proses,
karena terhadap putusan Majelis mengenai perlawanan yang dilakukan dengan cara
singkat tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum banding atau kasasi (pasal
62 ayat 6) menjadilah penetapan dismissal
ketua pengadilan tersebut berkekuatan seperti putusan akhir mengenai pokok
sengketanya[11].
Perlawanan
diperiksa dan diputus oleh pengadilan denga acara singkat. Dalam hal perlawanan
dibenarkan oleh pengadilan, maka penetapan ketua pengadilan tersebut diatas
gugur demi hukum (ex lege) dan pokok
gugatan akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut acara biasa.
Sebaliknya apabila perlawanan ditolak, maka penetapan hakim yang diputus dalam
rapat permusyawaratan itu menjadi tetap berlaku. Dengan demikian gugatan tetap
dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak terdasar. Putusan yang tetapkan atas
dasar perlawanan terhadap penetapan rapat pemusyawartan ini menurut Pasal 62
ayat (6) UU PTUN tidak dapat digunakan upaya hukum baik yang berupa banding
maupun kasasi. Wicipto Setiadi mengatakan bahwa dalam hal penggugat tidak dapat
menerima putusan tersebut, satu-satunya kemungkinan adalah mengajukan gugatan
baru. Berdasarkan angka V butir 2 SEMA No. Tahun 1991, perihal pengajuan
gugatan itu dimungkinkan sepanjang tenggang ewaktu mengajukan gugatan
sebagaimana yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN masih tersisa[12].
2.
Banding
Banding
sering juga disebut istilah ulangan pemeriksaan yang berasala dari bahsa latin apellare. Arti banding, yaitu
pemerimsaan dalam instansi (tingkat) kedua oleh sebuah pengadilan atasan yang
mengulangi seluruh pemeriksaan, baik mengenai fakta-fakta, maupun penerapan
hukum atau undang-undang[13].
Menurut pendapat penulis banding merupakan suatu pemeriksaan ulang yang
dilakukan oleh Pengadilan Tinggi terhadap putusan Pengadilan Negeri atas permohonan
pihak yang berkepentingan. Pemeriksaan di tingkat banding merupakan pemeriksaan
oleh judex facti tingkat terakhir.
Abdulkadir
Muhammad berpendapat bahwa pemeriksaan perkara banding dalam hal pemeriksaan
ulang di Pengadilan Tinggi pada dasarnya dilakukan terhadap berkas
dokumen-dokumen peradilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri). Akan tetapi,
apabila Pangadilan Tinggi memandang perlu, dia berkuasa memanggil pihak-pihak
yang berperkara untuk di dengar alasan-alasannya. Untuk kepentingan praktis,
biasanya dimintakan bantuan dari Pengadilan Negeri yang memutus perkara untu
memeriksa hal-hal yang diperintahkan oleh pengadilan tinggi untuk melengkapi
berkas2 perkara yang sudah ada[14].
Dalam
Pasal 122 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 disebutkan terhadap putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara dapat mintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Menurut
pasal 123 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, tenggang waktu permohonan
pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang
khusus dikuasakan untuk itu kepada pengadilan tata usaha Negara yang
menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas hari setelah
putusan pengadilan itu diberikan kepadanya secara sah[15].
R.
Wiyono berpendapat jika penggugat dan atau tergugat hadir pada waktu Pengadilan
Tata Usaha Negara menjatuhkan putusannya, maka pada waktu itu secara langsung
penggugat dan atau tergugat telah diberitahu secara sah putusan Pengadilan Tata
Usaha tersebut meskipun baru kemudian salinan putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara diterima. Dengan demikian, jika penggugat dan atau tergugat tidak hadir
pada waktu Pengadilan Tata Usaha Negara menjatuhkan putusannya, permohonan
pemeriksaan ditingkat banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat
belas hari) setelah Pengadilan Tata Usaha Negara menjatuhkan putusannya[16].
Dalam
hal prosedur pelaksanaan permohonan banding terdapat dalam Pasal 123-126
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, sebagai berikut[17]:
1. Permohonan
pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang
khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang mejatuhkan
putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan
Pengadilan itu diberikan kepadanya secara sah;
2. Permohonan
pemeriksaan banding disertai pembayaran uang muka biaya perkara banding lebih
dahulu, yang besarnya ditaksir oleh Panitera;
3. Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh
Panitera dalam daftar perkara;
4. Panitera
memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding;
5. Selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, panitera
memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas
perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha Negara dalam tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan;
6. Salinan
putusan, berita acara, dan surat-surat lain yang bersangkutan harus dikirimkan
kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari sesudah pernyataan permohonan pemeriksaan banding;
7. Para
pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding serta
surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
dengan ketentuan bahwa salinan memori dan/atau kontra memori banding diberikan
kepada pihak lainnya denga perantaraan Panitera Pengadilan.
Sebelum
permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon, dalam hal
permohonan pemeriksaan banding telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi
meskipun jangka waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum
lampau. Dalam hal salah satu pihak sudah menerima baik putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara, ia tidak dapat mencabut kembali pernyataan tersebut, meskipun jangka
waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau[18].
Ketentuan
pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal
127 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, sebagai berikut[19]:
1. Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus perkara banding dengan
sekurang-kurangnya tiga orang hakim;
2. Apabila
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan
Tata Usaha Negara kurang lengkap maka Pengadilan Tinggi tersebut, dapat
mengadakan sidang sendiri untuk mengadakan pemeriksaan tambahan atau
memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan melaksanakan
pemeriksaan tambahan itu;
3. Terhadap
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan tidak berwenang memeriksa
perkara yang diajukan kepadanya, sedang Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
berpendapat lain, pengadilan tinggi tersebutdapat memeriksa dan memutus sendiri
perkara itu atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
memeriksa dan memutus;
4. Panitera
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam waktu tiga puluh hari mengirimkan
salinan putusan Pengadilan Tinggi beserta surat pemeriksaan dan surat lain
kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dalam
pemeriksaan tingkat banding juga berlaku semua ketentuan mengenai hakim dan
panitera yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda serat suami atau
istri dengan tergugat, penggugat, atau penasihat hukum (Pasal 128 UPTUN).
Sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan
berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan suatu sengketa sebagaimana
diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985[20].
Sebelum
permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pihak pemohon
sendiri. Akan tetapi, jika dicabut, permohonan banding tidak dapat diajukan
lagi meskipun jangka waktu mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum
lampau[21].
Setelah
Pengadilan Tata Usaha Negara menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diajukan
permohonan pemeriksaan di tingkat banding, maka dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari setalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menjatuhkan putusan, Panitera
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara mengirimkan salinan putusan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara beserta berkas perkaranya kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama[22].
Dalam
hal salah satu pihak sudah menerima baik putusan Pengadilan Tata Usaha Negara,
tidak dapat mencabut kembali pernyataan tersebut meskipun jangka waktu untuk
mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau[23].
Oleh
sebab itu, maka putusan Pengadilan Tinggi dapat memperkuat putusan hakim pada
tingkat pertama atau Pengadilan Tata Usaha Negara. Baik dengan jalan
memperbaiki atau mengoper seluruh atau sebagian pertimbangannya maupun dengan
jalan membatalkan seluruh atau sebagian dari putusan hakim pertama dengan
mengadili sendiri seperti kalau ia duduk sebagai hakim tingkat I. Jika dianggap
hakim pertama telah keliru menyatakan bahwa gugatan itu tidak diterima, maka
putusan hakim tingkat pertama itu dibatalkan, Pengadilan Tinggi akan
memerintahkan perkara tersebut diperiksa dan diputus kembali oleh hakim tingkat
pertama tersebut.
3.
Kasasi
Lembaga
kasasi itu berasal dari Perancis. Perkataan “kasasi” (dalam bahasa Perancis cassation) berasal dari perkataan
Perancis casser yang berarti “memecahkan”
atau “membatalkan”. Tugas pengadilan kasasi adalah menguji (meneliti) putusan
pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum
yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah
ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut[24].
Menurut
soepomo, dalam buku Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata
mengatakan, bahwa kasasi adalah tindakan Mahkamah Agung untuk menegakkan dan
membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada
tingkatan tertinggi[25].
Maka dapat disimpulkan, bahwa kasasi itu merupakan suatu upaya hukum biasa yang
ada pada tingkat kedua, yang diajukan oleh pihak yang tidak merasa puas atas
penetapan dan putusan dibawah Mahkamah Agung, baik mengenai kewenangan
pengadilan kesalahan penerapan hukum kesalahan atau kelalain dalam cara-cara
mengadili menurut syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pemeriksaan
di Tingkat Kasasi sebagai upaya hukum biasa diatur dalam Pasal 131
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai
berikut:
(1) Terhadap
putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung.
(2) Acara
pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Oleh
karena ketentuan tentang pemeriksaan di tingkat kasasi yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1895 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, hanya ketentuan
tentang pemeriksaan di tingkat kasasi untuk perkara perdata yang diputus oleh
pengadilan di lingkungan Peradilan Umum saja[26].
Maka dengan sendirinya pemeriksaan di tingkat kasasi untuk perkara yang diputus
oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum diberlakukan ketentuan tentang
pemeriksaan di tingkat kasasi untuk perkara perdata yang diputus oleh
pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Semua
permohonan kasasi dalam lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung
mengajukan permohonan kasasinya kepada Mahkamah Agung, hal ini sesuai dengan
amanah Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang terbaru UU No. 48 Tahun 2009.
Mahkamah Agung bukan merupakan pengadilan tingkat ketiga, sehingga pemeriksaan
tidak dapat dianggap sebagai pemeriksaan tingkat ketiga. Mahkamah Agung (judex uiris) hanya melakukan penilaian
yang menyangkut masalah penerapan hukumnya, tidak mengulang pemeriksaan
mengenai fakta-fakta perkara. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi
terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, Mahkamah Agung memiliki
kewenangan[27]:
1. Mengawasi
tingkah laku dan perubatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan tugasnya;
2. Meminta
keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua
Lingkungan Peradilan. Hal ini merupakan konsekuensi kewenangan pembinanaan
teknis peradilan bagi pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung;
3. Member
petunjuk, teguran atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di
semua Lingkungan Peradilan.
Maka
yang dapat mengajukan permohonan sebagaimana terdapat dalam Pasal 44 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 untuk pemeriksaan di tingkat kasasi
adalah[28]:
a. Penggugat
atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu;
b. Tergugat
atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
Menurut
Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, pemohonan pemeriksaan di
tingkat kasasi harus diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
setelah putusan Pengadilan Tinggi Tatat Usaha Negara diberitahukan kepada
pemohon[29].
Sedangkan alasan pembatalan putusan semua lingkungan peradilan, sebagaimana tersirat dalam Pasal 30 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 menentukan bahwa Mahkamah Agung dalam tingkat
kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan dari semua lingkungan
peradilan, karena:
a. Tidak
berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. Salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. Lalai
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Berdasarkan
alasan-alasan tersebut diatas menurut Sudikno Mertokusumo, dalam buku Zairin
Harahap, dapatlah diketahui bahwa di dalam tingkat kasasi tidak diperiksa
tentang duduknya perkara atau faktanya tetapi tentang hukumnya, sehingga
tentang terbukti tidaknya peristiwa tidak akan di periksa. Penilaian hasil
pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Mahkamah Agung terikat pada peristiwa yang telah di putuskan pada tingkat
terakhir. Jadi dalam tingkat kasasi peristiwa tidak diperiksa kembali. Dengan
demikian kasasi tidak dimaksudkan sebagai peradilan tingkat ketiga[30].
Menurut
Pasal 45A ayat (1-5) UU No.14/1985 joncto UU No.05/2004 disebutkan[31]:
1. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili
perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh
Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya;
2. Perkara
yang dikecualikan sebagaimana disebutkan ayat (1), terdiri atas:
a. putusan
tentang praperadilan;
b. perkara
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
diancam pidana denda;
c. perkara
tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang
jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan
3. Permohonan
kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permohonan
kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat
diterima dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas
perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung;
4. Penetapan
ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diajukan upaya
hukum;
5. Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) danayat (4) diatur lebih lanjut
oleh Mahkamah Agung.
Prosedur
pengajuan kasasi kepada Mahkamah Agung ialah sebagai berikut[32]:
1. Permohonan
kasasi diajukan oleh para pihak yang bersengketa atau (para) kuasanya secara
tertulis atau lisan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan
atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon;
2. Permohonan
tersebut diajukan melalui Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama)
yang memutuskan perkara itu;
3. Jika
tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut terlampaui tanpa ada pengajuan
permohonan kasasi oleh pihak yang bersengketa, maka pihak yang bersengketa dianggap
telah menerima putusan;
4. Pemohon
membayar biaya pemeriksaan kasasi tersebut;
5. Setelah
pemohon membayar biaya perkara Panitera berkewajiban melakukan;
a. Mencatat
permohonan kasasi dalm buku daftar;
b. Pada
hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas
perkara;
c. Selambat-lambatnya
dalam waktu 7 (tujuh) hari setalah permohonan kasasi terdaftar, Panitera
memberikan secara tertulis mengenai permohonan;
d. Permohonan
selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah
permohonan tersebut dicatat dalam buku daftar, wajib menyampaikan memori kasasi
yang memuat alasan-alasannya;
e. Panitera
memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan
memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam sengketa yang dimaksud dalam
tenggang waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari;
f. Pihak
lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi (kontra memori
kasasi) kepada Panitera dalm tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal
diterimanya salinan memori kasasi;
g. Panitera
mengirimkan seluruh berkas perkara (permohonan kasasi, memori kasasi, kontra
memori kasasi, berkas yang lain) kepada Mahkamah Agung dalm tenggang waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari;
h. Panitera
Mahkamah Agung bertindak:
1) Mencatat
permohonan kasasi dalm buku daftar dengan membubuhkan nomor unit menurut
tanggal penerimaannya
2) Membuat
catatan singkat tentang isinya;
3) Melaporkan
semua itu kepada Mahkamah Agung.
Setelah
prosedur pengajuan permohanan kasasi selesai maka akan diperiksa oleh Mahkamah
Agung, kemudian akan memberikan putusan kepada kedua belah pihak
selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan dan berkas perkara diterima
Pengadilan Tinggi. Jika putusan dilakukan atas dasar alasan tersebut, maka
Mahkamah Agung memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu. Salinan
putusan dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama)
yang memutus perkara tersebut.
B.
Upaya
Hukum Luar Biasa
Upaya
hukum luar biasa merupakan suatu upaya hukum yang dilakukan setelah memperoleh
kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde).
1.
Peninjauan
Kembali
Terhadap
suatu putusan Mahkamah Agung yang sudah memperoleh keuatan hukum tetap, maka
upaya hukum selanjutnya yang bisa dilakukan dengan peninjauan kembali terhadap
putusan Mahkamah Agung tersebut, sebagaimana terdapat dapat Pasal 132
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 menyatakan sebagai berikut[33]:
(1) Terhadap
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara
pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Dalam
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 mengatakan:
Dalam pemeriksaan peninjauan
kembali perkara yang diputus oleh pengadilan di lingkungan peradilan agama,
atau oleh pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha Negara, digunakan hukum
acara peninjauan kembali yang tercantum dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 75.
Alasan
pengajuan pemohonan peninjauan kembali sebagaimana tersirat dalam Pasal 67
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagai berikut[34]:
a. Apabila
putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila
setelah perkara di putus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan
yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. Apabila
telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut;
d. Apabila
mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya;
e. Apabila
antara pihak-pihak yang sama mengenal suatu soal yang sama, atas dasar yang
sama oleh pengadilan yang sama tingkatnya telah diberikan putusan yang
bertentangan suatu dengan yang lain;
f. Apabila
dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu keliru yang
nyata.
Permohonan
peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh pihak yang berperkara atau ahli
warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila
selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, maka permohonan
tersebut akan dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Maka
dari itu mengenai tenggang waktu mengajukan peninjauan kembali yang didasarkan
atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan
puluh) hari, hanya cara mulai melakukan perhitungannya berbeda-beda sesuai
denga alasan mana yang digunakan pemohon sebagaimana yang disebutkan pada Pasal
67 UUMA:
a. Yang
disebut dalam huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak
putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan
kepada para pihak yang berperkara;
b. Yang
disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal
ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang
berwenang;
c. Yang
disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap
dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
d. Yang
disebut pada huruf e sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang
berperkara.
Permohonan
peninjauan kembali diajukan oleh pemohonan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua
Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya
perkara yang diperlukan[35].
Setelah Ketua Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama menerima
permohonan peninjauan kembali, maka Panitera berkewajiban untuk
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari memberikan atau mengirim
salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan dari pemohon, dengan maksud[36]:
a. Dalam
hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 huruf a atau huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 agar
pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawabannya;
b. Dalam
hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas salah satu alasan yang
tersebut pada Pasal 67 huruf c sampai dengan huruf f Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985, agara dapat di ketahui.
Pasal
73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Mahkamah Agung berwenang
memerintahkan Pengadilan yang memeriksa dalam Tingkat Pertama atau Pengadilan
Tingkat Banding mengadakan pemeriksaan tambahan atau meminta segala keterangan
serta pertimbangan dari pengadilan yang dimaksud[37].
Pengadilan setelah melaksanakan perintah mahkamah agung tersebut segera
mengrimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangannya kepada
mahkamah agung[38].
Dalam
hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan
putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa
serta memutuskan sendiri perkaranya. Mahkamah Agung menolak permohonan
peninjauan kembali dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu
tidak beralasan[39].
Setelah
Mahkamah Agung menjatuhkan putusan, maka salinan putusan Mahkamah Agung
tersebut dikirimkan kepada pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama dan
selanjutnya Panitera menyampaikan salinan putusan itu kepada pemohon serta memberitahukan
putusan itu kepada pihak lawan dari pemohon dengan memberikan salinannya
selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari[40].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Untuk
memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan, maka perlu alat atau sarana hukum
untuk dapat memperbaiki putusan tersebut, yaitu yang dinamakan upaya hukum.
Jadi, upaya hukum adalah alat atau sarana hukum untuk memperbaiki adanya
kekeliruan pada putusan pengadilan. Upaya hukum ini dapat ditempuh terhadap
putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut pendapat
penulis bahwa upaya hukum merupakan suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa
dirugikan haknya untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum.
Dengan
demikian untuk memperbaiki kekliruan tersebut, maka dari itu ada beberapa upaya
hukum yang dilakukan dalam peradilan tata usaha Negara sebagai berikut:
1. Upaya
hukum biasa
a. Perlawanan
terhadap penetapan dismissal
b. Banding
c. Kasasi
2. Upaya
hukum luar biasa
a. Peninjauan
kembali
B.
Saran
Dalam
hal ini penulis berharap semoga makalah ini bisa dijadikan bahan ataupun sumber
rujukan, yang sekaligus menambah pengetahuan di bidang Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara dan memahami secara mendeteil atau mendalam bagaimana
sebenarnya konsep beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN, Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), dan Mahkamah Agung (MA). Dalam melakukan
berbagai upaya hukum, baik upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa yang
terdapat dalam proses pemeriksaan di pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Cetakan
Kesembilan, Bandung, 2012.
A. Siti Soetami, Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Refika Aditama, Cetakan Ketujuh,
Bandung, 2011.
Elidar Sari dan Hadi Iskandar, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, CV Biena
Edukasi, lhokseumawe, 2014.
H. Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2007.
Indroharto, Usaha
Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar
Harapan, Cetakan Keenam, 1996.
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, dalam Teori dan Praktek,
CV. Mandar Maju, Cetakan Kesebelas, Bandung, 2009.
Ridwan HR, Hukum
Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cetakan Keenam,
2011.
R. Wiyono, Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013.
Zairin Harahap, Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.
B.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang
Dasar RI Tahun 1945. .
Undang-Undang
No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004
Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009
[1] Undang-Undang Dasar RI Tahun
1945, Pasal 1 ayat 3, Amandemen Ke 3.
[2] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Cetakan Keenam, 2011, hlm. 3.
[3] Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, PT.
Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 160.
[4] Moh. Taufik Makarao, Ibid, hlm. 160.
[5] Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 165-166.
[6] R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta
Timur, 2013, hlm. 202.
[7] R. Wiyono, Ibid, hlm. 202.
[8] Zairin Harahap, op. cit., hlm. 166.
[9] Lihat Pasal 62 ayat (3)
Undang-Undang No 5 tahun 1986
[10] Zairin Harahap, op. cit., hlm. 166-167.
[11]Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Pustaka Sinar Harapan, Cetakan Keenam, 1996, hlm. 153.
[12] Zairin Harahap, op. cit., hlm. 167.
[13] A. Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
PT. Refika Aditama, Cetakan Ketujuh, Bandung, 2011, hlm. 59.
[14] Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Cetakan Kesembilan, Bandung, 2012, hlm. 181-182.
[15]
Lihat Pasal 123 ayat (1)
Undang-Undang No 5 tahun 1986.
[16] R. Wiyono, op. cit., hlm 204.
[17]
Lihat Pasal 123-126 Undang-Undang
No 5 tahun 1986.
[18] Elidar Sari dan Hadi Iskandar, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, CV Biena Edukasi, lhokseumawe, 2014, hlm. 119.
[19] Lihat Pasal 127 Undang-Undang No
5 tahun 1986.
[20] H. Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 73.
[21] Lihat Pasal 129 Undang-Undang No
5 tahun 1986.
[22] Lihat Pasal 127 (4)
Undang-Undang No 5 tahun 1986.
[23] Lihat Pasal 130 Undang-Undang No
5 tahun 1986.
[24] Moh. Taufik Makarao, op. cit., hlm. 189.
[25] Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata,
dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Cetakan Kesebelas, Bandung, 2009,
hlm. 163.
[26] Lihat Pasal 46-53 Undang-Undang
No. 14 Tahun 1985.
[27] Elidar Sari dan Hadi Iskandar, op. cit., hlm. 121-122.
[28] Lihat Pasal 44 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
[29] Lihat Pasal 46 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
[30] Zairin Harahap, op. cit., hlm. 173.
[31] Lihat Pasal 45A ayat (1-5) UU
No.14/1985 jo. UU No.05/2004.
[32] Elidar Sari dan Hadi Iskandar, op. cit., hlm. 122-123.
[33] Lihat Pasal 132 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
[34] Lihat Pasal 67 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985
[35] Lihat Pasal 70 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
[36] R. Wiyono, op. cit., hlm. 224.
[37] Lihat Pasal 73 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
[38] Lihat Pasal 73 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
[39] Lihat Pasal 74 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
[40] Lihat Pasal 75 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985
bisa kirim gak file nya?
BalasHapus